Oleh : Vik.Hendry V.Sihasale
Demokrasi & hak asasi manusia (HAM) adalah suatu paham kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang menjadi kedambaan bagi banyak orang. Namun tidak sedikit juga orang yang menolak. Salah satu alasan dari penolakan terhadapnya adalah karena paham tersebut adalah produk Kekristenan. Bagi mereka yang menolak, dengan menerima demokrasi dan HAM maka sama saja dengan menerima Kekristenan menjadi pilar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Apakah benar, HAM dan demokrasi adalah paham yang lahir dari Kekristenan? Banyak orang yang berpikir demikian. Karena HAM dan demokrasi berasal dari barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Padahal secara historis, pemikiran itu keliru. HAM dan demokrasi tidak lahir dari Kekristenan. Paham tersebut justru lahir dari mereka yang kritis bahkan anti terhadap Kekristenan. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan di bawah.
Kekristenan setelah dinobatkan oleh Theodosius, Kaisar Romawi, sebagai agama resmi kekaisaran Roma pada tahun 380, mulai melakukan pembersihan kepada ajaran-ajaran non-Kristen di seluruh wilayah kekaisaran Roma. Setelah kekaisaran Romawi hancur di akhir tahun 400-an, gereja dinobatkan sebagai lembaga sosial politik tertinggi di wilayah-wilayah bekas kekaisaran Roma, dan Uskup Roma diangkat menjadi Paus yang berkedudukan sebagai pimpinan tertinggi gereja.
Keberadaan gereja sebagai lembaga sosial politik tertinggi dan membawahi kerajaan-kerajaan lain di benua Eropa, memaksa setiap orang harus tunduk di bawah kekuasaan gereja. Tidak ada kebenaran di luar gereja. Semua hal yang dianggap pengetahuan mesti diuji dulu di bawah ajaran gereja. Jika tidak selaras, maka ajaran itu dipandang sesat, dan para penganutnya dipaksa dengan keras, bahkan dengan ancaman hukuman mati, untuk meninggalkannya.
Kekristenan dijadikan sebagai agama yang membenarkan gereja untuk bertindak otoriter dan kejam. Ruang bagi kebebasan berpendapat dan berpikir berada dalam kerangkeng hukum gereja. Orang-orang Kristen disuruh berperang oleh gereja untuk menumpas bangsa-bangsa yang tidak mau tunduk kepada gereja, dengan alasan bahwa bangsa-bangsa tersebut adalah jelmaan iblis. Semua ini masih berlangsung hingga gereja mengalami skisma besar dengan munculnya gerakan reformasi pada tahun 1519.
Memang munculnya gerakan reformasi yang kemudian disebut Kristen Protestan, tidak membuat gereja meninggalkan sifat keras, otoriter, dan kejamnya. Gereja yang baru muncul akibat perpecahan tersebut, tetap mempraktikan dominasi terhadap kebenaran dan bertindak kejam terhadap mereka yang berbeda dengan gereja, misalnya saja keputusan Martin Luther yang memandang revolusi petani jerman sebagai aliran sesat sehingga diperbolehkan untuk dibantai sampai habis, atau keputusan John Calvin yang memerintahkan orang-orang yang melanggar hukumnya di Jenewa untuk dibakar hidup-hidup. Namun, meski Kekristenan di masa reformasi masih mewarisi Kekristenan di masa sebelumnya, perpecahan itu telah menciptakan ruang bagi munculnya ajaran-ajaran lampau (ajaran/filsafat Yunani) yang selama 1000 tahun lebih, dilarang oleh gereja.
Munculnya filsafat Yunani seakan menjadi pemuas dahaga setelah selama ribuan tahun masyarakat yang berada di bawah gereja hanya menyaksikan kekerasan dan perang yang dilegitimasi oleh agama, tanpa ada perbaikan hidup yang berarti bagi jutaan masyarakat Eropa yang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Dengan cepat pemikiran-pemikiran yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani ini tersebar di kalangan masyarakat intelektual Eropa. Masa itu dikenal dengan masa Renaisance. Dari pemikiran-pemikiran tersebut, muncullah suatu paham yang menekankan keberadaan manusia sebagai subyek kehidupan yang memiliki kebenaran otonom di dalam dirinya masing-masing. Paham itu dikenal dengan nama Humanisme. Dengan munculnya paham ini, maka dimulailah era baru di Eropa, era pencerahan.
Perlu juga diangkat beberapa pemikir populer di masa itu. Rene Descartes seorang intelektual dari Perancis di pertengahan tahun 1600an, menyatakan bahwa eksisnya manusia ditentukan oleh kemampuan berpikirnya. Pemikiran ini hadir untuk mengkritisi ajaran gereja yang selalu menekankan Tuhan sebagai alasan manusia eksis dalam kehidupannya; ajaran yang menjadi dasar gereja sebagai wakil Tuhan berhak memperbudak dan menghilangkan manusia. Selain Descartes, ada Isaac Newton yang muncul di akhir tahun 1600an hingga awal tahun 1700an. Beliau menyatakan bahwa alam itu bekerja secara mekanistis dan akal pikiran manusia dapat menyingkapkan cara kerja alam dan menguasainya untuk dikelola demi kepentingan manusia. Pernyataan Newton ini jelas bertentangan dengan ajaran gereja yang menekankan alam mutlak berada di bawah kuasa Allah.
Kemampuan berpikir manusia yang memampukan dirinya eksis dan berkuasa atas alam, memunculkan suatu keyakinan bahwa manusia pada dirinya dapat menghasilkan kebenaran-kebenaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Immanuel Kant, seorang ilmuwan Jerman di tahun 1700an, mengatakan bahwa kesalahan manusia selama ini adalah tidak mampu berpikir sendiri di luar tuntutan dogma dan otoritas agama. Selama manusia masih berada di dalam kuasa dogma dan otoritas agama, maka manusia akan tetap hidup dalam penderitaan. Karena seperti yang sudah dan sering terjadi, bahwa agama hanyalah alasan untuk membenarkan teror dan kekerasan atas nama Allah.
Pemikiran semacam inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran bahwa kebenaran itu tidak tergantung pada gereja. Gereja hanyalah salah satu pihak yang memberikan sumbangsih pemikiran. Tetap saja yang menentukan apakah sumbangsih itu sebagai suatu kebenaran atau tidak, adalah manusia yang menjalaninya. Kesadaran ini kemudian memunculkan revolusi Amerika (1776) dan revolusi Perancis (1789), sebagai peristiwa bersejarah yang memuat nilai kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, dan kedaulatan rakyat. Keempat nilai itulah yang menjadi dasar dari tumbuhnya paham demokrasi dan HAM sampai saat ini.
Voltaire, pemikir cemerlang & populer di mata rakyat pada masa menjelang revolusi Perancis, adalah seorang yang percaya pada Tuhan tetapi anti terhadap kekuasaan gereja/agama. Gereja baginya hanyalah organisasi yang menipu dengan nama Allah karena telah melakukan penindasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak tunduk padanya. Semasa hidupnya, Voltaire menjadi saksi dari praktik intoleransi gereja terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang beragama lain, dan karena itulah dia menganggap gereja sebagai lawan dari keyakinannya terhadap demokrasi.
Dengan uraian singkat ini, apakah masih dapat dibenarkan bahwa Kekristenan adalah rahim dari demokrasi dan HAM? Jelas tidak dapat dibenarkan! Demokrasi dan HAM adalah hasil dari permenungan akal budi manusia dengan keyakinan bahwa manusia adalah subyek dari kebenaran dimana dia mampu menemukan kebenaran. Permenungan itu muncul setelah manusia dan masyarakat mengalami penderitaan dan kehancuran akibat lembaga-lembaga agama yang bertindak otoriter dan menghalalkan teror kepada kemanusiaan, atau dengan kata lain agama menjelma menjadi tiran bagi dunia. Dengan kata lain, HAM dan demokrasi adalah perlawanan terhadap tirani agama yang menjadikan suatu agama sebagai sumber dari kebenaran yang mesti diyakini oleh semua orang, termasuk melawan agama yang mengklaim dirinya sebagai rahim dari paham tersebut.
Mengingatkan saja bung, demokrasi itu produk yg dipaksakan..hahaha...
BalasHapus