Oleh : Vik.Marchely Elvira Ruitenbach
Kehidupan
bergereja merupakan sebuah dinamika yang kompleks. Ia saya andaikan seperti
sebuah lukisan abstrak. Lukisan abstrak akan dipandang aneh dan tak bernilai
oleh orang awam. Hal itu dikarenakan, ia dihiasi dengan warna, bentuk dan
goresan yang saling timpang tindih. Namun, lukisan yang dipenuhi dengan pulasan
dari berbagai sudut, di atas kain kanvas itu membentuk sebuah kesatuan utuh begitu
rupa, sehingga memiliki nilai seni yang tinggi. Para pecinta seni berani
mengapresiasi sebuah karya seni yang menawan tersebut dengan harga yang
setinggi langit. Demikian halnya dengan
kehidupan bergereja khususnya di GPIB. GPIB dilingkupi dengan keberagaman.
Kemajemukan tersebut, bukan hanya dalam diri GPIB (latar belakang anggota
jemaat seperti pendidikan, usia, profesi, dsb), melainkan juga di luar diri
GPIB (lingkungan tempat GPIB berkarya, zaman yang terus berubah, dsb).
Rupa-rupa
konteks pelayanan GPIB tersebut, merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari hal
itu, GPIB bercita-cita menjadi gereja yang misioner. Gereja yang dinamis, yang
bergerak ke luar dan bukan hanya terpaku pada dirinya sendiri. Agar GPIB juga
mampu menjadi sebuah gereja yang bernilai tinggi, seperti lukisan abstrak yang
mampu menyatukan segala bentuk, warna dan goresan yang berbeda menjadi sebuah
kesatuan yang utuh, maka gereja perlu memikirkan sebuah trobosan atau starategi
berperang melawan tantangan kemajemukan tersebut. Keberagaman tersebut, dapat
disatukan dengan kesadaran untuk menghadirkan sebuah komunitas yang penuh
dengan cinta kasih. Komunitas yang tidak memandang perbedaan sebagai sebuah
keanehan, kesalahan, keburukan atau penyimpangan.
Kita
dapat belajar dari pemikiran Martin Luther King JR yang berangkat dari konteks
lingkungan sosialnya, di mana erat sekali dengan militarism dan juga
kemiskinan. King mengatakan komunitas cinta kasih adalah komunitas yang di
dalamnya tidak ada seorangpun yang menilai orang lain berdasarkan warna
kulitnya. Melalui pemikiran dan juga kesaksian dari King ini, ia setuju dengan
pandangan dari James Cone, mengenai black
theology (teologi hitam). Berdasarkan pemikiran dari King mengenai
konsepnya tentang komunitas penuh cinta kasih, maka pemikiran King ini dapat
menumbuhkan sebuah refleksi yang berujung pada tindakan rekonsiliasi (pendamaian
dalam dirinya, dan juga kepada segala hal di sekitarnya).
Impian, atau pemikiran King ini,
membawanya ke dalam sebuah komitmen, di mana ia ingin menciptakan sebuah
suasana yang penuh dengan kedamaian, tidak ada kekerasan, dapat menemukan
keadilan Allah, dan juga tetap adanya, harapan akan sebuah penebusan. Dalam
refleksi dari komunitas penuh kasih impian King itu, bukan hanya ditujukan bagi
Kekristenan saja, tetapi bagi semua kalangan. Sebab ia berpandangan memang
kasih itu berasal dari Allah melalui Kristus, namun berlaku bagi semua. Dengan
demikian King mengatakan wujud kasih itu dalam komunitas, berlaku lintas agama,
dan budaya. Dalam komunitas penuh kasihnya, King mengangkat hal-hal kemanusiaan,
seperti martabat manusia, kesetaraan, keadilan, dan juga kebebasan. Impian King ini, jika kita
wujudkan bersama dalam ber-GPIB, maka tidak menjadi suatu hal yang mustahil,
cita-cita GPIB untuk menjadi sebuah gereja yang misioner akan menjadi kenyataan.
Ide komunitas penuh kasih tersebut, juga berangkat dari gambaran yang ada dalam kitab Suci yang menggambarkan keharmonisan antara relasi Allah dengan Kristus. King juga dalam pemikirannya ikut memasukkan unsur imago Dei dari Immanuel Kant, bahwa sebaiknya untuk mengejawantahkan suatu komunitas yang penuh kasih dari sebuah bentuk rekonsiliasi, itu berarti menyatakan rupa Allah. Kesadaran akan hal ini, bukan hanya penting bagi para pelayan, tetapi juga bagi anggota jemaat di seluruh GPIB. Ketika GPIB mampu menyatukan keberagaman, dan menjadi komunitas cinta kasih, maka GPIB akan menjadi sebuah lukisan abstrak yang bernilai seni tinggi. Lukisan abstrak karya “Sang Pelukis Agung”. Selamat ber-GPIB dengan semangat cinta kasih Allah. -salam.Vik. MER.
Ide komunitas penuh kasih tersebut, juga berangkat dari gambaran yang ada dalam kitab Suci yang menggambarkan keharmonisan antara relasi Allah dengan Kristus. King juga dalam pemikirannya ikut memasukkan unsur imago Dei dari Immanuel Kant, bahwa sebaiknya untuk mengejawantahkan suatu komunitas yang penuh kasih dari sebuah bentuk rekonsiliasi, itu berarti menyatakan rupa Allah. Kesadaran akan hal ini, bukan hanya penting bagi para pelayan, tetapi juga bagi anggota jemaat di seluruh GPIB. Ketika GPIB mampu menyatukan keberagaman, dan menjadi komunitas cinta kasih, maka GPIB akan menjadi sebuah lukisan abstrak yang bernilai seni tinggi. Lukisan abstrak karya “Sang Pelukis Agung”. Selamat ber-GPIB dengan semangat cinta kasih Allah. -salam.Vik. MER.
Tentang Penulis: Vikaris Marchely Elvira
Ruitenbach
telah menjalani proses vikariat tahun 1
di GPIB Jemaat "Menara Iman" Jakarta
Timur dalam
bimbingan Pdt.Katte Fonny Barahama-Pattipeilohy,
dan saat ini sedang berproses melaksanakan vikariat tahun 2
di GPIB Jemaat "Shalom" Sidoardjo, dibawah bimbingan Pdt. Jantje Wairizal.
siipp kak.. mari kita doakan agar jemaat tetap bersekutu dalam kasih persaudaraan...
BalasHapusHiduppp Syalom, Sidoarjo. Salam buat Mentor I akuu yaahh chelll :)
BalasHapusGBUs...