Oleh: Vik.Hendry V. Sihasale
Kita
tidak bisa menutup kenyataan bahwa sekarang ini sedang terjadi pertarungan
antar kebudayaan yang berusaha saling mendominasi satu dan yang lainnya. Dan
salah satu produk kebudayaan yang berada dalam pertarungan ini adalah agama.
Agama
pada dirinya sendiri memiliki kebenaran yang dipandangnya secara mutlak. Sampai
pada tahap ini, tidak ada kekeliruan. Namun, ketika pemikiran ini melahirkan
sikap dan pikiran untuk memandang agama lain sebagai inferior/lebih rendah
derajatnya, maka kita pun mulai masuk pada alam pikiran bahwa benar dan salah,
baik dan jahat, gelap dan terang diukur dari agama yang dianut. Dan dari
pemikiran inilah muncul karakter intoleran antar umat beragama. Namun tidak
berarti bahwa agama itu memang intoleran. Mengapa? karena pemikiran semacam itu
adalah tafsiran yang muncul dari penalaran umat terhadap ajaran dan tradisi
keagamaannya.
Ironisnya,
pandangan dan karakter intoleran ini seakan-akan menjadi figur yang
terpublikasi dari agama tersebut, sehingga
membuat orang berpandangan bahwa agama tersebut memang berkarakter intoleran. Akibatnya,
rasa curiga dan konflik antar agama semakin meruncing karena publik sudah
termoderasi oleh pemikiran tersebut. Jika ini dilanjutkan,
maka benturan peradaban seperti yang diprediksikan oleh Samuel Huntington,
tidak mustahil memang akan benar-benar terjadi. Dan semua ini sudah terlihat
indikasinya dalam lingkup lokal, regional, hingga global. Dan jika ini tidak
dibendung secepatnya maka kita sama saja telah menyerahkan masa depan kita pada
mereka yang intoleran untuk mengubah dunia ini menjadi sebuah sistem yang
membenarkan terjadinya tirani minoritas dengan praktik-praktik bullying di
dalam relasi sosial yang penuh dengan kepelbagaian.
Kesadaran
terhadap situasi ini, mesti direspon dengan doa yang kuat dan pelayanan yang
gigih. Namun sebelumnya juga, mesti diklarifikasi pemahaman kita tentang agama
lain. Stereotipe inferior yang kita sematkan pada agama-agama lain mesti
digugurkan, karena Tuhan Yesus dan banyak ajaran agama, tidak
mengajarkan manusia untuk membenci dan merendahkan sesama. Kita mesti bertobat
dari pandangan yang diskriminatif dan subyektif kepada pandangan yang empati
dan obyektif secara teologis, bahwa mereka yang berbeda adalah juga manusia
yang diciptakan segambar dengan Allah.
Setelah
itu dilakukan, baru kita dapat secara murni melibatkan
diri dalam mengembangkan dan memajukan gerakan keagamaan yang toleran serta
dapat memoderasi umat beragama lain untuk masuk dalam pola relasi yang setara
dan saling membangun di tengah kepelbagaian. Dan karena semua ini bertolak dari
pemahaman iman, maka toleransi yang kita bangun yang berujung pada solidaritas
sosial, adalah suatu tindakan iman, dimana semuanya itu demi kemuliaan nama
Tuhan yang menghendaki dunia hidup di dalam damai sejahtera.
setuju kak, kadang ada orang kristen yang merendahkan keyakinan orang lain yang munkin berbeda secara ajaran bahkan merendahkan denominasi lainnya.., padahal pengikut Yesus sudah seharusnya berkarakter pembebas dan bukan penindas, karena ia sendiri telah ditebus dan dibebaskan dari beban dosa2nya...
BalasHapus