Oleh : Vik.Hendry V. Sihasale
“Kalian
harus melihat pekerjaan kalian sebagai pelayanan!”,
ucapan semacam ini seringkali kita dengar di gereja. Atau dengan mengutip ayat
alkitab “lakukanlah segala sesuatunya itu bukan untuk manusia, tapi untuk
Tuhan.” Yang tidak pernah ketinggalan mendengar ucapan seperti itu adalah
mereka yang bekerja tetap di gereja alias karyawan gereja.
Ada
kalanya ucapan itu muncul ketika pihak berwenang di gereja (selanjutnya akan
disebut gereja) memberikan pekerjaan di luar kewajaran alias tidak sesuai
dengan kesepakatan kerja yang dijalin pada awalnya. Ada kalanya gereja juga
dalam memberikan penghargaan terhadap karyawannya, jauh dari apa yang membuat
karyawan merasa nyaman dan diperhatikan oleh gereja. Dengan kata lain, kerjaan
dituntut optimal, tapi bayarannya minimal.” Bahkan dalam berkomunikasi pun,
beberapa kali ditemui sikap-sikap arogan dari gereja kepada karyawannya
sehingga relasi yang tercipta adalah relasi atasan dan bawahan, atau majikan
dan hamba. Dan situasi semacam ini seakan-akan dibenarkan terus terjadi dengan
alasan pelayanan atau bekerja di ladang Tuhan
Sebelum
kita masuk dalam masalah tersebut, ada baiknya kita mengulas secara singkat
saja soal arti pelayanan dari kacamata iman Kristen. Dalam konteks Kekristenan,
pelayanan berkaitan erat dengan iman, bahkan wujud nyata dari keberadaan iman.
Jika seseorang memiliki iman yang bersumber pada Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, maka pelayanannya bercirikan atau berkarakter pada pelayanan
Kristus. Dan apa yang paling besar dalam karakter pelayanan Yesus Kristus?
jawabannya satu yaitu KASIH.
Kembali
pada masalah, apakah pemahaman dan kesadaran melayani di dalam kasih itu ada
pada diri karyawan ketika diperhadapkan pada tuntutan pekerjaan yang tidak
wajar? Ketika muncul ketidaknyamanan di dalam diri karyawan, maka sudah pasti
bahwa mereka tidak memandangnya sebagai suatu pelayanan, tetapi sebagai suatu
pemaksaan yang harus mereka terima karena mereka berstatuskan pekerja atau
orang yang digaji. Di sisi lain, apakah para karyawan sendiri dapat merasakan
perhatian yang sepadan dengan warga gereja yang lain? Ada cukup banyak
pengamatan yang melihat bahwa para karyawan dipandang sebagai orang yang tidak
sekelas warga jemaat sehingga mereka dinomorduakan oleh gereja dalam hal
pelayanan. Dengan kenyataan ini, kita dapat melihat bahwa istilah pelayanan
yang dipakai tidak selaras dengan maksud sebenarnya, melainkan hanya kamuflase
dari arogansi gereja kepada karyawannya.
Selain
itu nats alkitab yang digunakan, "lakukan segala sesuatunya seperti untuk
Tuhan" (Kolose 3:23),jika
ditelusuri secara tekstual, memiliki latar belakang kondisi sebagian jemaat
Kristen di Kolose yang adalah budak. Dan di zaman Paulus, perbudakan adalah
suatu kelaziman sehingga Paulus tidak secara frontal mendobrak sistem itu
tetapi berusaha mewarnainya oleh Injil dengan menekankan relasi antara majikan
dan budak yang mesti berada di dalam kasih Tuhan. Jika ayat Alkitab secara harafiah dipakai untuk menjadi
alasan bagi gereja menuntut kinerja karyawannya, maka kita mengamini bahwa
status para karyawan sama dengan budak di zaman rasul Paulus. Itu sebabnya
bahwa nats ini tidak bisa hanya diberlakukan kepada salah satu pihak saja,
tetapi mesti kepada kedua belah pihak. Artinya bahwa gereja pun harus mengasihi
karyawannya seperti gereja mengasihi Tuhan.
Dengan
demikian, sudah bisa dipahami bahwa meskipun gereja memiliki wewenang kepada
karyawannya, tetapi wewenang itu tidak diberikan untuk menjadikannya sebagai
majikan/tuan dan nyonya besar. Melainkan menjadi sarana dalam memastikan dan
memperbesar kasih-mengasihi di antara orang-orang yang berkecimpung di
dalamnya. Suasana kerja yang tidak sehat membuktikan bahwa gereja hanya
menjadikan kasih sebagai slogan/ajaran belaka dan mengabaikan pemberlakuannya
kepada dirinya sendiri. Padahal, ketika setiap dari orang percaya mengamini
bahwa gereja adalah wakil dari Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, maka
semestinya suasana Kerajaan Allah itu terealisasi dalam kehidupan bergereja.
Jika
itu tidak terjadi, maka mesti diwaspadai bahwa jangan-jangan Allah sudah
menyingkir dari gereja karena didesak oleh para pelayannya yang berwenang dan
berkepentingan jadi penguasa di dalamnya. Dan bisa jadi sekarang Allah pada
akhirnya lebih memilih pindah ke lembaga-lembaga sekuler yang lebih
memperhatikan kebutuhan karyawannya dan memperlakukan mereka lebih manusiawi
ketimbang mereka yang mengaku sebagai gereja-Nya. Memang tidak selamanya,
status umat Allah selaras dengan kualitas hidup sebagai umat Allah.
Komentar
Posting Komentar