Oleh: Vik.C. E. Banizman Zai
Seorang suami berkata kepada istrinya “Sepertinya kita
tidak cocok, sifat kita berlawanan dan pendapat kita selalu bertabrakan. Lebih
baik kita pisah saja!”. Celakanya sang isteri merespon dengan hati panas dan
berkata “Baik! Kamu memang tidak pernah memperhatikan keluarga ini, dan saya bisa
tetap hidup tanpa kamu!” Wah..wah..,sering sekali kita juga terpuruk dalam
kondisi seperti itu. Di dalam kegiatan perkantoran, bahkan juga di dalam
pelayanan gerejawi muncul perseteruan karena perasaan tidak cocok. “Saya tidak
cocok dengan bapak/ibu itu, maka perkerjaan/pelayanan ini menjadi kacau!”. Perasaan
tidak cocok juga menuntun seseorang untuk membenarkan dirinya dan berusaha
mencari kambing hitam.
Dari mana munculnya perasaan tidak cocok? Ada beberapa
faktor yang menjadi penyebabnya, salah satu yang terbesar adalah egosentrisme.
Egosentrisme adalah sifat dan kelakuan yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala hal. Cara pandang yang terlalu subjektif mendorong pembangunan
sebuah dunia, dimana hanya saya saja yang benar, dan orang lain selalu salah. Dalam
kegiatan sehari-hari orang yang egosentris menjadi teman/pemimpin/ kekasih yang
otoriter, hanya ingin didengar dan harus diikuti. “Kamu harus ikut cara saya!
Kalau tidak, kita batalkan saja perkerjaan/hubungan ini!”. Orang yang
egosentris akan menjadi sangat kecewa bila ada orang lain yang memiliki cara
pandang/cara kerja yang berbeda, meskipun itu cara yang kreatif.
Faktor berikutnya adalah kebiasaan yang terlalu berharap
kepada orang lain. Terkadang di dalam suatu relasi persahabatan, perkerjaan
maupun pelayanan, kita terlalu memaksakan harapan yang sangat besar kepada
orang lain. Sehingga ketika harapan itu berbeda dengan kenyataan, kita merasa
kecewa. Tidak salah menaruh kepercayaan, tetapi sebaiknya kita tetap
menjalankan fungsi kerja sama dengan benar dan seimbang. Jangan juga berpikir
“You do the best, and i will take a rest!”. Lakukanlah sesuatu dengan tekun dan
biarkan orang lain bekerja atau membantu dengan tetap menjadi dirinya sendiri,
sehingga pekerjaan/pelayanan boleh membawa sukacita.
Sebenarnya, kedua faktor tersebut menjunjukkan
ketidak-mampuan seseorang dalam beradaptasi. Ketika kita merasa sudah terlalu
matang dalam bekerja/berpikir, kita akan merasa tidak perlu lagi beradaptasi
secara berkesinambungan. “Sudah seharusnya orang lain saja yang menyesuaikan
dirinya dengan saya.” Proses ini yang membuat rasa tidak cocok semakin kuat
dari hari ke hari. Suami/istri merasa sudah saling memahami, sahabat merasa
saling mengerti padahal tidak disadari jikalau waktu mengubah setiap orang
setiap harinya.
Selanjutnya, bagaimana kita memandang persoalan ini? Saya
tidak sedang berusaha membantu pembaca untuk menyelesaikan persoalan, tetapi
saya ingin memberi kekuatan baru dalam menjalani proses itu sendiri. Jika rasa
tidak cocok direspon dengan cara negatif maka akan terjadi tiga tahap yang
berproses pada: 1.Merenggangkan relasi, 2.Menjauhkan diri, dan terakhir
3.Memisahkan diri. Saya melihat proses ini tidak membuahkan sukacita apapun. Untuk
itu saya mengajak pembaca untuk merenungkan sebuah permainan yang bernama
puzzle.
Kita pun seperti potongan-potongan puzzle itu. Masing-masing
kita terlahir dengan sifat dan karakter yang saling berbeda, serta
dianugerahkan karunia yang berbeda pula. Untuk menyatukan puzzle dengan tepat,
kita harus memperhatikan setiap sudut bingkainya (the frame). Hal itu
penting agar potongan puzzle tidak diletakkan pada posisi yang salah. Perhatian
terhadap bingkai akan memunculkan asosiasi sebuah gambaran besar, yang
menentukan kecocokan masing-masing puzzle itu sendiri. Maka dalam kehidupan
ini, kita perlu memahami bingkai kehidupan kita bersama orang lain dalam
keluarga, pekerjaan dan pelayanan gerejawi. Bingkai kehidupan kita hanya Satu,
yaitu Damai Sejahtera Kritus. Memang masih ada bingkai-bingkai yang lain,
tetapi saya tidak percaya itu bisa mendatangkan damai sejahtera.
Ketika kita mampu menempatkan diri kita dengan benar sebagai
salah satu potongan, niscaya kita akan menemukan dan merasakan sukacita sejati.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara kita menemukan posisi yang benar
di dalam bingkai damai sejahtera Kristus itu? Rasul Paulus menasehatkan 3
langkah hidup bersama dalam sukacita, yaitu “Hendaklah kamu selalu rendah hati,
lemah lembut dan sabar.” Efesus 4:2-7 mengingatkan kita semua, agar kita
menjalani kehidupan bersama dalam ikatan damai sejahtera, dan senantiasa menjunjung
kesatuan Roh dalam persekutuan yang penuh cinta kasih.
Rendah hati itu sulit! Lemah lembut itu sulit! Bahkan menjadi
sabar lebih sulit lagi! Lalu mau bagaimana? Sesuatu yang baik dan berharga itu
memang dimulai dari hal yang sulit. Membangun rumah dari potongan batu bata,
jadi sarjana harus baca banyak buku, bahkan keselamatan berawal dari mahkota
duri dan kayu salib. Sulit kan? Memang, tapi buahnya manis! Jadi siapa yang mau
makan buah manis, harus siap menumbuhkan benih-benih rendah hati, lemah lembut
dan kesabaran dalam hati dan pikirannya! Semua itu bukan untuk membuat relasi
keluarga/pekerjaan/pelayananan menjadi cocok. Saya ingatkan, didunia ini tidak
ada yang cocok! Yang ada ialah kita saling mengisi dan melengkapi antara satu
dengan yang lain. Belajar memahami lingkungan dan situasi, belajar merendahkan hati
dan menerima orang lain sebagai anugerah dalam kehidupan kita saat ini.
Sebagai
penutup, saya mengutip Yeremia 29:11 “Sebab Aku ini mengetahui
rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman
TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk
memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Tuhan sudah punya bingkai (rancangan) yang sangat
indah, sekarang persoalannya, kita mau atau tidak menjadi potongan puzzle-Nya? Selamat
merenung! Dan selamat menjalani kehidupan penuh sukacita, Tuhan Yesus Memberkati!
kau pasti dengar cerita koreaku semalem jd kau tulis ni renungan, huh! :)
BalasHapusC.E itu apa niz?
gak lah.. itu asli pemikiranku, tp gmn ilustrasinya menurutmu? mudah dicerna pikiran gak? C.E. itu Common Era (Zaman Bersama)...hehhe.. :)
Hapus