Mewaspadai Ajaran Sesat

Sebuah ulasan terhadap renungan pagi SBU, 19 Oktober 2013
1 Timotius 6:2b-5
Oleh: Vik.Hendry V. Sihasale
    
       Idealnya sudah sejak lama banyak orang Kristen berharap memiliki persekutuan yang serupa dengan jemaat mula-mula. Gambaran penting tentang jemaat mula-mula yang menjadi acuan adalah di Kisah Para Rasul dimana terjadi kebangunan rohani yang dilanjutkan dengan solidaritas berbagi antara satu dengan yang lainnya baik dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, maupun dalam melaksanakan misi yang Tuhan berikan bagi mereka. Namun banyak yang lupa bahwa selain daripada itu masih banyak gambaran lain tentang jemaat mula-mula yang diutarakan dalam Perjanjian Baru, khususnya dari surat Rasul Paulus. Salah satunya adalah gambaran bahwa jemaat mula-mula tidak bebas dari masuknya ajaran sesat ke dalam jemaat. 
    Dalam surat kepada Timotius, Paulus sudah mengingatkan sejak awal ada orang-orang yang sedang mengajarkan ajaran yang bukan ajaran Kristus. Orang-orang yang dimaksud itu bukan orang-orang di luar jemaat, tetapi yang ada di dalam jemaat. Mereka membawa ajaran yang pada akhirnya berujung pada percekcokan. Pada psl.1, kita melihat bahwa yang dimaksud ajaran itu adalah hukum Taurat. Dan seperti yang kita tahu pada prinsipnya Taurat itu adalah seperangkat aturan yang kemudian menjadi pedoman bahkan menjadi orientasi hidup beriman.
    Dan ketika peraturan menjadi orientasi, maka akibatnya adalah timbul kekakuan dalam berelasi antara mereka yang membuat aturan dan mereka yang menjalankan aturan. Orang dibayang-bayangi ketakutan untuk berbuat salah dan ditegur. Satu persatu mulai menjadi “mata-mata” untuk yang lainnya. Berusaha mencari-cari kesalahan orang lain, dan berusaha mengumpulkan ribuan alasan jika dirinya ditemukan bersalah. Akhirnya yang terjadi bukan peraturan yang dibuat untuk manusia tapi manusia yang dibuat untuk aturan. Inilah yang disebut sebagai bahaya legalisme dalam hidup beriman.
    Bukan berarti kemudian tidak diperbolehkan adanya aturan, tapi Paulus disini menegaskan bahwa aturan itu bukan orientasi. Orientasi dari kehidupan beriman adalah cinta kasih (psl.1). Artinya yang terutama dalam membangun kehidupan orang percaya bukanlah tentang bagaimana mereka patuh pada aturan tetapi tentang bagaimana mereka dapat mencintai satu sama lain. Dan dalam menjaga kehidupan yang saling mencintai itu dibuatlah peraturan agar semuanya dapat berjalan tertib tanpa mengganggu kepentingan satu dengan yang lainnya.
    Dengan demikian marilah kita sebagai anak-anak Tuhan senantiasa menjadikan cinta kasih sebagai orientasi bagi kita dalam merancang, merumuskan, dan menilai segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi baik dalam kehidupan kita, persekutuan, dan sesama. Pertanyaan yang senantiasa kita renungkan adalah sampai sejauh mana kita telah menjadi saluran cinta kasih Allah dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini?

Komentar

  1. jaman sekarang sedang susah mengembangkan pikiran yang sehat, cek-cok sudah dari agenda tahunan..., mudah2an kita bisa membawa damai dimana pun kita berada dan berkarya...

    BalasHapus

Posting Komentar