Pengaruh Karismatik Bagi GPIB

Oleh: Vik.Hendry V. Sihasale
   Sampai saat ini kita tidak bisa menafikkan bahwa perkembangan aliran karismatik sudah tidak dapat terbendung. Bahkan gereja-gereja karismatik kian subur dan gencar mempropagandakan dirinya kepada anggota-anggota gereja lain, khususnya GPIB. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa dalam melaksanakan tugas pengutusan kita, ada pertanyaan yang mesti kita jawab, apakah karismatik merupakan kerugian atau keuntungan bagi keberadaan GPIB? Jika pertanyaan ini kita berikan kepada para anggota jemaat GPIB/eks anggota yang bersekutu di gereja karismatik, maka jawabannya sudah pasti adalah suatu keuntungan. 
    
    Bagi mereka karismatik adalah alternatif bahkan solusi dari kejenuhan atau kehambaran bersekutu dalam GPIB. Mereka menilai bahwa iman mereka tidak kunjung bertumbuh di GPIB, mandeg dan tidak berkembang. Berita Injil yang selama ini diperdengarkan melalui khotbah dan pembinaan di GPIB terkesan kering, namun di karismatik hal itu menjadi hidup dan menyegarkan. Ringkasnya, aliran Karismatik telah menjadi jawaban atas kebutuhan personalitas mereka sebagai orang Kristen.

    Sementara itu jika kita menanyakan pertanyaan yang sama kepada mereka yang fanatik GPIB, maka jawaban yang kita terima bahwa aliran karismatik adalah suatu kerugian bahkan ancaman bagi kehidupan bersekutu di GPIB. Alasan yang paling mudah mereka kemukakan adalah model ajaran, ibadah, nyanyian, dan doa yang telah menggeser apa  yang lazim berlaku di GPIB. Selain itu mereka juga mempersoalkan kehadiran persekutuan karismatik yang menggaet anggota jemaat GPIB, sehingga bagi mereka karismatik memiliki pengaruh yang mengancam keutuhan jemaat. Singkatnya, mereka berpandangan bahwa karismatik adalah suatu ancaman bagi keberadaan ajaran dan keutuhan jemaat GPIB.

    Selain dua pendapat tersebut, ada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa aliran karismatik adalah keuntungan sekaligus kerugiaan. Ada yang positif yang dapat dipelajari dari karismatik dan diterapkan dalam kehidupan berjemaat di GPIB tanpa melepaskan keanggotaannya sebagai jemaat GPIB. Namun kembali bahwa apayang ingin diterapkan tersebut tetap saja beresiko menggeser apa yang seharusnya ada di GPIB. Misalnya saja masalah nyanyian. Menurut mereka yang terpengaruh oleh aliran karismatik namun tidak mau meninggalkan GPIB, nyanyian semestinya tidak masalah untuk diajarkan dan dinyanyikan dalam ibadah-ibadah GPIB asalkan tidak menyimpang. Namun konsekuensi logis dari itu bahwa ada sebagian lagu GPIB yang tidak dinyanyikan. Dan berkurangnya ruang bagi nyanyian GPIB membuat warga jemaat semakin sedikit mengetahui dan mempelajari lagu-laguGPIB. Dengan kata lain tetap saja bahwa pemikiran yang ketiga ini memiliki maksud untuk mengubah apa yang lazim di GPIB meski dengan cara yang lebih lembut ketimbang mereka yang sudah terlebih dahulu meloncat ke gereja-gereja karismatik.

    Berangkat dari kenyataan ini, karismatik dapat dikatakan suatu koreksi terhadap keberadaan GPIB dalam memenuhi kebutuhan rohani warga jemaatnya. Sebagian orang menjadi melek matanya dengan melihat adanya alternatif yang lebih menghidupkan dan menyegarkan dalam beribadah dan bersekutu. Resistensi terhadap karismatik semestinya tidak mengabaikan faktor korektif ini. Karena dengan mengabaikannya sama saja dengan mengabaikan fakta kebutuhan jemaat atas hal tersebut. yang terpenting sebenarnya bagaimana kita dapat menghadirkan kesegaran itu dengan kelaziman yang kita miliki. Apakah itu mungkin? Jelas saja mungkin kalau kita mau sungguh-sungguh menggumulinya dalam doa dan pelayanan yang menjawab kebutuhan warga jemaat. Pengenalan dan pemahaman yang benar dan tepat tentang kebutuhan warga jemaat menjadi bahan bagi merumuskan kehidupan bersekutu yang lebih relevan tanpa meninggalkan tradisi gerejawi GPIB.

    Namun kita pun mesti tegas dalam menjaga eksistensi dan wibawa kita sebagai gereja. Perpindahan warga jemaat dan masuknya ajaran-ajaran karismatik sudah pasti menjadi ancaman bagi keberadaan dan ajaran GPIB sendiri sebagai gereja yang alkitabiah dan rasuli. Akan tetapi apakah cukup bagi warga jemaat dengan mendengar khotbah yang mengatakan bahwa ajaran itu adalah keliru, tanpa disertai argumentasi yang menguatkan penilaian tersebut? Menerima begitu saja pengaruh dari karismatik adalah bentuk dari ketidak-mampuan warga jemaat untuk meyakini dan memahami apa yang selama ini telah diterimanya melalui khotbah dan pembinaan. Dengan kata lain, mesti dipikirkan kembali dan terus diperbaharui metode, pola, dan media dalam mengenalkan dan mengentalkan ajaran GPIB.  

    Satu hal yang mesti ada dalam penalaran dan penghayatan kita terhadap kenyataan ini adalah rendah hati. Rendah hati untuk menilai segala sesuatu secara komprehensif: tidak menilai secara sepihak dan tidak hanya menyalahkan pihak luar saja, tetapi dengan penuh sahaja mengakui kelemahan dan memperbaikinya untuk kepentingan pembangunan warga jemaat demi pelayanan dan kesaksian yang menghadirkan Kerajaan Allah.

Komentar

  1. Mantap kak.. Kita memang harus selalu mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dan pelayanan diri sendiri..

    BalasHapus
  2. Ditilik dari sejarah gereja mula-mula, bahwa ibadah gereja pada zaman ini telah bergeser dari pentingnya khotbah/berdiskusi firman Tuhan dalam peribadatan menjadi pentingnya puji-pujian dalam peribadatan. Saya sendiri bergereja di GPIB melihat adanya pergeseran nilai peribadatan. Jika anda membaca tata ibadah yang umumnya hampir 80% berisi nyanyian dan doa, sedangkan khotbah hanya 20%. Ini belum termasuk nyanyian paduan suara dan vocal grup. Ini menjadi bumerang bagi pendeta sendiri yang mungkin sudah mempersiapkan khotbah namun karena waktu dalam peribadatan sudah terpakai oleh puji-pujian dan doa yang cukup panjang sehingga khotbah dipersingkat.
    Yang kedua adalah adanya Sabda Bina Umat yang menjadi kelebihan dan kelemahan si pendeta berkhotbah. Ada beberapa pendeta yang memakai SBU sebagai referensi saja namun ada beberapa yang memakai SBU sebagai khotbah utuh.

    BalasHapus

Posting Komentar