Oleh: Vik.Loisani Tatengkeng
GPIB memakai istilah Persembahan Tetap Bulanan, sebelum menetapkan menjadi Persembahan Persepuluhan, namun konsep tentang persepuluhan sudah ada sejak tahun 1982. (walaupun penetapannya dalam Tata Gereja 2010).
Menurut Pdt S.Th Kaihatu M.TH, dalam tulisannya “Persembahan Persepuluhan”, beliau menguraikan bahwa Persembahan tetap bulanan terjadi karena GPIB belum mampu menerapkan aturan Alkitab yang namanya persepuluhan. Dalam persidangan sinode tahun 2000 GPIB mulai memperhatikan hal persembahan persepuluhan ini. Tetapi dalam persidangan sinode istimewa tahun 2004, GPIB mulai menerapkan prinsip-prinsip alkitab, termasuk tentang persepuluhan. Persidangan sinode 2010 memastikan bahwa persembahan persepuluhan merupakan komponen utama dalam pembiayaan gereja.[1]
Berdasarkan pergumulan secara teologis dan keputusan bersama jemaat – jemaat melalui para presbiter yang diutus ke Persidangan Sinode XIX GPIB tahun 2010 maka ditetapkan persembahan persepuluhan sebagai sumber utama Pembiayaan Rencana Kerja dan Anggaran Majelis Sinode. Dan Persidangan Sinode Tahunan di Pontianak 2011 mengamanatkan agar persembahan persepuluhan di berlakukan per 1 April 2011.
Menurut Pdt S.Th Kaihatu M.TH, dalam tulisannya “Persembahan Persepuluhan”, beliau menguraikan bahwa Persembahan tetap bulanan terjadi karena GPIB belum mampu menerapkan aturan Alkitab yang namanya persepuluhan. Dalam persidangan sinode tahun 2000 GPIB mulai memperhatikan hal persembahan persepuluhan ini. Tetapi dalam persidangan sinode istimewa tahun 2004, GPIB mulai menerapkan prinsip-prinsip alkitab, termasuk tentang persepuluhan. Persidangan sinode 2010 memastikan bahwa persembahan persepuluhan merupakan komponen utama dalam pembiayaan gereja.[1]
Berdasarkan pergumulan secara teologis dan keputusan bersama jemaat – jemaat melalui para presbiter yang diutus ke Persidangan Sinode XIX GPIB tahun 2010 maka ditetapkan persembahan persepuluhan sebagai sumber utama Pembiayaan Rencana Kerja dan Anggaran Majelis Sinode. Dan Persidangan Sinode Tahunan di Pontianak 2011 mengamanatkan agar persembahan persepuluhan di berlakukan per 1 April 2011.
Persembahan Persepuluhan Sebagai Sebuah Keputusan Gerejawi.
Tata gereja GPIB tahun 2010 yang ditetapkan dalam persidangan sinode XIX GPIB tahun 2010 khusus peraturan No. 6 tentang perbendaharaan GPIB menegaskan sebagai berikut (Pasal 6): sumber penerimaan di GPIB terdiri dari :
1. Jemaat:
a) Persembahan wajib (Persepuluhan)
b) Persembahan khusus (Persembahan syukur)
c) Persembahan sukarela (Persembahan dalam ibadah – ibadah jemaat).
d) Bantuan perorangan atau pemerintah yang tidak terikat, baik berupa uang, barang maupun penghibaan.
e) Hasil investasi
f) Penerimaan lain – lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan GPIB dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sinodal :
a) Persembahan Wajib: (persembahan persepuluhan bulanan), penggajian, sinodal dan dana penyangga gaji pendeta dan pegawai (DPGP2).
b) Persembahan Khusus : Persembahan dalam rangka HUT GPIB, HUT Pelkat – Pelkat dan hari-hari raya gerejawi.
c) Persembahan sukarela : Persembahan Perorangan atau bantuan pemerintah.
d) Hasil Investasi
e) Penerimaan lain – lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan GPIB dan ketentuan perundang – undangan yang berlaku. [2]
Sebagai orang percaya, kita memahami bahwa apa yang kita miliki semua adalah milik Tuhan, dan ketika kita mengucap syukur kepada Tuhan melalui persembahan yang kita berikan itu bukan hanya sebuah kewajiban, melainkan merupakan sebuah ungkapan tulus dari hati untuk semua berkat yang Tuhan nyatakan dalam kehidupan kita. Namun pada kenyataannya persembahan persepuluhan belum terlaksana dengan baik khususnya di jemaat GPIB. Dari pengamatan saya sebagai penulis, hal ini diakibatkan karena kurangnya sosialisasi terhadap jemaat terkait pemahaman tentang penghasilan yang sepersepuluhnya dipersembahkan, dan tidak ada kejelasan pengeluaran khususnya disampaikan kepada jemaat terkait dengan persepuluhan itu.
Menurut Pdt S.Th Kaihatu M.TH, Penghasilan adalah penghasilan dan bukan modal kerja. Tegasnya uang makan dan uang transport baik yang regular maupun penugasan khusus, bukanlah penghasilan dan karena itu tidak kena aturan persepuluhan. Mengapa demikian? Karena modal kerja adalah benih. Bukan hasil, persepuluhan tidak pernah dipersembahkan dari benih melainkan dari hasil. Jadi yang tidak bekerja dengan sendirinya tidak kena aturan tentang hasil tetapi bagi yang pensiunan uang Pensiun adalah hasil kerja yang ditabung secara kumulatif, jelas kena aturan tentang persepuluhan. Begitu juga dengan mereka yang tidak bekerja dan tidak memiliki uang pensiun yang hanya mengharapkan dari anak-anak perlu jelas bahwa ini bukan persepuluhan melainkan persembahan sukarela atau persembahan syukur.[3] Hal inilah yang kemudian perlu disosialisasikan kepada jemaat supaya jemaat memahami betul mengenai persepuluhan. Tidak dapat dipungkiri ketika memepersembahkan persepuluhan di jemaat banyak terjadi polemik, antara pekerja, yang tidak bekerja (pensiuanan) ataupun orang tua yang sudah lanjut usia yang dibiayai oleh anak-anak.
Uraian Konsep Persepuluhan Dari PL & PB
Dalam konteks Perjanjian Lama memahami persembahan sebagai sesuatu yang wajib seperti korban bakaran, korban penghapus dosa, persembahan persepuluhan dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam mempersembahkan persepuluhan adalah :
Pertama, persembahan persepuluhan itu diperintahkan sebagai sesuatu yang diharuskan menurut Taurat. Dari hasil benih di tanah, buah pohon – pohonan dan lembu sapi atau domba harus di bayar persepuluhan (Imamat 27:30 - 32; Maleakhi 3:10).
Kedua, persembahan persepuluhan itu diberikan kepada orang Lewi (Bil 18:21-24). Sebab berdasarkan sifat dan kedudukan tugasnya dalam masyarakat Israel, orang Lewi tidak memiliki mata pencaharian untuk mencukupi segala kebutuhan mereka. Karena itu mereka hidup dari persembahan persepuluhan umat Israel (Bil 18:21, 24). Sepersepuluh dari sepersepuluh yang diberikan pada orang Lewi itu harus mereka persembahkan sebagai persembahan persepuluhan. Persembahan persepuluhan ini harus dari segala yang terbaik dari padanya. (Bil 18:26, 29; Neh 10:39; 12:24). Jadi sekalipun orang Lewi hidup dari persembahan persepuluhan, namun mereka tidak bebas dari mempersembahkan persembahan persepuluhan itu sendiri.[4]
1. Sepersepuluh dari persembahan persepuluhan setiap tiga tahun sekali diberikan kepada orang asing atau orang miskin, orang Lewi, para janda dan anak yatim piatu (Ul 14:27-29; 26:12-14). Dengan demikian jelas sekali bahwa peruntukan persembahan persepuluhan adalah untuk menolong mereka yang membutuhkan.
2. Persembahan persepuluhan itu juga menjadi persediaan di rumah Tuhan(Mal 3:10). Istilah rumah Tuhan disini menunjuk pada institusi atau persekutuan yang seharusnya menjadi pelaksana kasih Allah dalam penggunaan persembahan persepuluhan itu.
3. Persembahan persepuluhan diberikan sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan kepada Tuhan Allah (Amsal 3:9-10). Hasil pertama yang disisihkan selalu berhubungan dengan persembahan persepuluhan. Mempersembahkannya berarti memuliakan Tuhan sebagai penjamin berkat dalam kehidupan.
Yang perlu kita catat bahwa persembahan persepuluhan adalah milik Tuhan, kemana persembahan persepuluhan itu dibawa yakni kerumah-Nya. Itulah konteks yang melatarbelakangi PL dalam mempersembahkan persepuluhan.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus dan Paulus tidak menyinggung tentang persepuluhan, tetapi Yesus tidak mengatakan harus memberikan persembahan, Ia juga tidak melarang. Dan Yesus tahu pasti mengenai praktik persepuluhan dan itu sudah dilakukan dalam Mat 23:23 yang dikritisi Yesus bagi orang Farisi adalah sikap hati dalam memberi, mereka meskipun mempersembahkan persepuluhan tetapi hidup mereka jauh dari sikap mengasihi sesama. Begitu juga dalam Lukas 18 : 12 Yesus sekali lagi tidak mempertentangkan hal itu, berdasarkan konteksnya Yesus juga adalah orang Yahudi yang taat pada aturan dapat dipastikan Yesus juga memberikan persembahan persepuluhan.
Rasul Paulus jika kita melihat polanya Ia juga dalam seluruh surat-suratnya tidak menyinggung tentang istilah persepuluhan, tetapi Paulus dalam metodenya lebih menekankan Persembahan dari jemaat-jemaat yang mampu dengan pengumpulan uang bagi jemaat-jemaat yang membutuhkan. Dalam suratnya I Kor 16 : 2 Setiap minggu pertama mereka menyisihkan uang untuk mendukung pelayanan bagi jemaat-jemaat yang membutuhkan dan dalam II Kor 8:1- 15 Paulus memberikan pengajaran bagi jemaat Korintus bagaimana mereka meniru iman orang-orang Makedonia dalam segala keterbatasan mereka masih mampu memberikan bantuan, kepada para Rasul serta mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus.
Dari uraian di atas konteks perjanjian baru dari perspektif Yesus dan Paulus keduanya memiliki makna yang sama bahwa yang utama dari persembahan itu adalah bagaimana sikap hati dalam memberi, dan tujuan dari persembahan itu adalah untuk keadilan sosial atas dasar mendukung mereka yang tidak mampu, demi pekerjaan dan kemuliaan Tuhan. Menurut saya, hal di atas juga dapat menjadi acuan dalam doa syukur yang diungkapkan GPIB khususnya dalam persembahan yang berbunyi ”Ya Tuhan terimalah persembahan syukur kami, yaitu umat yang telah Engkau selamatkan. Jadikanlah persembahan syukur kami ini sebagai berkat bagi sesama dan bagi pembangunan tubuh Kristus, Amin”. Akhir kata secara singkat saya ungkapkan: rangkaian untaian doa ini tidak hanya sekedar kata melainkan terwujud dalam kehidupan persekutuan.
[1] S.
Th Kaihatu, Persembahan Persepuluhan:
Sebuah Tantangan Praktik Beriman, hlm
14.
[2]
Tata Gereja GPIB, Peraturan No.6 Tentang
Perbendaharaan GPIB, Jakarta 11-16 Oktober 2010.
[3] S.
Th Kaihatu, Persembahan Persepuluhan;
Sebuah Tantangan Praktik Beriman; hlm.16-17.
[4]
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini,Yayasan Komunikasi Bina Kasih; Jakarta 2008.
Komentar
Posting Komentar