Oleh: Vik.Hendry V. Sihasale
Ironi dalam kehidupan bergereja selain
konflik internal adalah menyaksikan begitu banyaknya domba-domba Tuhan
meninggalkan jemaatnya untuk beribadah di persekutuan aliran lain. Alasan bahwa
di tempat lain yang lebih menarik, lebih trendi, lebih bersemangat, sudah biasa
terdengar dari mereka. Namun, apa benar
bahwa itu memang alasan dari larinya mereka ke persekutuan-persekutuan lain
sehingga menjadi tantangannya bagi kita adalah bagaimana membuat ibadah itu
lebih menarik, trendi, dan bersemangat? Kata “benar” dalam pertanyaan itu, bukan artinya sedang
mengkonfirmasi alasan tersebut pada mereka yang mengatakannya, tapi apakah
dapat memang itu kebenarannya, bahwa selera menjadi alasan bagi seseorang untuk
bersekutu atau tidak?
Jika
kita katakan bahwa itu benar, maka kita telah membiaskan maksud dan tujuan dari
keberadaan suatu persekutuan. Yang saya maksudkan dengan bias adalah, bahwa
persekutuan sudah tidak lagi dipandang sebagai cerminan dari keluarga Allah
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Firman Tuhan, tetapi dipandang sebagai tempat
orang untuk memenuhi seleranya. Ada begitu banyak orang dengan berbagai latar
belakang serta selera masing-masing. Jika kita jadikan selera sebagai faktor
utama dalam mengoreksi menurunnya jumlah "domba" dalam gereja kita dan membangun
kehidupan persekutuan, bukankah itu sama saja dengan membuka potensi adanya gap
di antara satu sama lain? Kalaupun itu terjadi, maka kualitasnya pasti tidak
lebih baik dari persekutuan di luar yang kita tiru tersebut, karena persekutuan
di luar sudah terbiasa dengan gayanya. Yang terjadi malah keunikan dan
identitas kita akan hilang. Orang jadi bertanya apa bedanya beribadah di
persekutuan aliran lain dengan di jemaat kita, kalau tidak ada bedanya kenapa
tidak sekalian bersekutu di luar?
Mari kita bandingkan persekutuan kita dengan
perkumpulan suporter sepakbola. Bagus atau jeleknya permainan tim sepakbola
yang didukung, tidak membuat suporter meninggalkannya. Loyalitas dan dedikasi,
menjadi unsur penting dalam perkumpulan suporter sepakbola yang mengikat di
antara satu sama lain. Selain perkumpulan sepakbola, mari kita perhadapkan
dengan kondisi persekutuan kita dengan persatuan suatu bangsa. Dalam semangat
kebangsaan, prinsip yang berlaku adalah “lebih baik hujan batu di negeri
sendiri, daripada hujan emas di negeri orang”. Jika semua kondisi ini kita
perhadapkan dengan perkembangan persekutuan kita di masa sekarang, maka jelas
sekali loyalitas dan dedikasi orang percaya dalam persekutuan masih rendah
kalau hanya karena lagu-lagu, ekspresi ibadah, dan khotbah yang menjemukan
seseorang meninggalkan persekutuannya. Oleh sebab itu, kembali pada persoalan
menurunnya jumlah anggota dalam jemaat, bahwa semua itu bukan karena masalah
selera tapi masalah loyalitas dan dedikasi.
Kedua nilai tersebut, loyalitas dan dedikasi,
bukanlah sekadar jargon atau slogan yang muncul dari kebutuhan orang-orang yang
ingin membangun suatu persekutuan, tetapi merupakan kehendak dari Yesus Kristus
sebagai Kepala Persekutuan. Kalau kita berbicara mengenai apa yang Tuhan
kehendaki untuk persekutan kita, maka jawabannya hanya “supaya kita menjadi
satu”. Orang-orang percaya tidak dapat dikatakan satu kalau mereka hanya datang
untuk memenuhi selera mereka masing-masing. Orang percaya tidak dapat dikatakan
satu kalau mereka hanya datang untuk memenuhi keinginan mereka masing-masing.
Perlu kita ketahui bahwa ada berbagai jenis pengelompokan manusia, yaitu :
kerumunan (crowd), persekutuan (community), dan persatuan (unity).
Yang Tuhan kehendaki adalah bagaimana kita membangun persekutuan kita menjadi
satu kesatuan, bukan sekadar banyak dan ramai dalam event-event yang digelar.
Kalau hanya sekadar banyak dan ramai, sekalian aja buat konser dengan
artis-artis ternama, atau undang tokoh-tokoh Kristen terkenal seperti Ahok,
pasti orang akan ramai berdatangan. Namun sesudah itu, apakah yang
beramai-ramai itu mau membangun persatuan antara satu sama lain? jelas tidak.
Semua kembali mengurusi urusannya masing-masing.
Dengan demikian, kita dapat memiliki sudut
pandang yang lebih mendasar, komprehensif, dan alkitabiah, dalam mengkaji ironi
yang terjadi dalam persekutuan kita. Ini semua bukan tentang selera, tetapi
tentang bagaimana kita membangun kesatuan yang berada di atas beragam selera.
Ini semua bukan tentang trend tetapi tentang bagaimana kita tetap punya jati
diri dan identitas di tengah arus kencang globalisasi. Ini semua bukan tentang
sampai sejauh mana kita menjawab kebutuhan zaman, tetapi tentang sampai sejauh
mana kita bangga terhadap apa yang kita miliki.
Kembali
ditegaskan bahwa yang Tuhan kehendaki adalah supaya kita jadi satu, menjadi unity bukan
sekadar community apalagi crowd. Untuk itu
loyalitas dan dedikasi adalah nilai penting yang harusnya dimiliki oleh mereka
yang berada dalam persekutuan. Pertanyaan terakhir bagi kita semua adalah,
sampai sejauh mana kira-kira ruang untuk menciptakan loyalitas dan dedikasi,
itu ada dalam persekutuan kita?
Komentar
Posting Komentar