Oleh : Vik.Rambu Ana Milla Tarap (RANA)
Dua tahun lebih sudah kita bergumul, memberanikan diri, untuk menyandang julukan "seorang Hamba". Proses penempaan dan perupaan dalam dunia pelayanan untuk menjadi pelayan Firman dan Sakramen membutuhkan suatu perjuangan yang tidak gampang. Sesekali kita dapat terjatuh, sesekali kita kehilangan arah tuju karena diterpa angin dan badai, sesekali kita dapat berkaca dan melihat betapa kecilnya kita yang sekarang ini, sesekali kita memejamkan mata kita dengan lutut yang gemetar seraya takjub dan bersyukur karena : "kita dapat hidup hanya oleh berkat pengasihan Tuhan".
Julukan "seorang hamba", bukanlah suatu julukkan yang patut untuk dibanggakan sehingga harus kita kejar dan peroleh dengan proses yang sedemikian rupa. Julukan seorang hamba ialah julukan untuk seseorang yang telah mendapatkan berkat pengasihanan dari himpitan hidup yang ingin menerkamnya. Ia ditebus dari rongrongan kehidupan, ia memberikan dirinya mengabdi dengan setia dan tanpa pamrih karena anugerah keselamatan yang didapatkannya. Ia sadar jika Tuhannya sudah mengasihaninya dengan sedemikian rupa, dan meneladani wujud dari kasih yang tidak terkondisikan itu dalam rupa yang sama dengan jati diri kita yang menamai diri sebagai Hamba. Tuhannya telah menjadi contoh seorang hamba itu sendiri. Ia ialah Hamba yang sejati! Hamba yang mau meninggalkan statusNya sebagai Yang Mahatinggi dan Mahamulia untuk menjadi panutan bagi umat manusia. Allah dari allah yang ada, Tuhan dari Tuhan, Ia telah menjadi manusia untuk merubah segala akar kejahatan karena kepementingan diri dan ketidaktahuan hidup.
Julukan "seorang hamba", bukanlah suatu julukkan yang patut untuk dibanggakan sehingga harus kita kejar dan peroleh dengan proses yang sedemikian rupa. Julukan seorang hamba ialah julukan untuk seseorang yang telah mendapatkan berkat pengasihanan dari himpitan hidup yang ingin menerkamnya. Ia ditebus dari rongrongan kehidupan, ia memberikan dirinya mengabdi dengan setia dan tanpa pamrih karena anugerah keselamatan yang didapatkannya. Ia sadar jika Tuhannya sudah mengasihaninya dengan sedemikian rupa, dan meneladani wujud dari kasih yang tidak terkondisikan itu dalam rupa yang sama dengan jati diri kita yang menamai diri sebagai Hamba. Tuhannya telah menjadi contoh seorang hamba itu sendiri. Ia ialah Hamba yang sejati! Hamba yang mau meninggalkan statusNya sebagai Yang Mahatinggi dan Mahamulia untuk menjadi panutan bagi umat manusia. Allah dari allah yang ada, Tuhan dari Tuhan, Ia telah menjadi manusia untuk merubah segala akar kejahatan karena kepementingan diri dan ketidaktahuan hidup.
Dengan berjalan bersama Hikmat yang datang dari padaNya, pembaharun hidup kita dapatkan, penguatan ketika lemah dan tak berdaya kita peroleh. Tantangan hidup memang boleh menjadi bagian dari diri kita, tetapi ia tidak dapat membuat semangat yang telah terasah ini luntur. selagi kita bernafas kita mungkin akan terbangun, kita juga dapat terjatuh, kita dapat terbentur tetapi jangan sampai kita lupa untuk menyadarkan diri, karena dengan demikian kita akan terbentuk! Hanya dengan kesadaran ini, kita sadar bahwa kita bukan siapa siapa sehingga patut untuk dibanggakan, disanjung dan dipuja. Hanya dengan kesadaran ini kita dapat memandang ke depan dan berfokus pada Kristus. Siapa kita sehingga Ia, Tuhan! mau mengorbankan diri dan menjadi hina untuk melakukan karya penyelamatan.
Hidup yang pasif dan hambar mungkin akan menjadi tantangan dan tawaran yang selanjutnya di perjalanan iman kita. KIta berpikir, "mungkin Tuhan sedang menyembunyikan diriNya dari jalan kita bersamaNya". kehidupan yang kering dan tidak mendatangkan buah kita jalani, berpikir seraya Tuhan tidak mendengar, berkehendak dan melakukan segala sesuatunya seraya Tuhan tidak lagi dapat melihat. Berpura pura menabur dan berpura pura menyirami biji yang dipercayakan kepada kita untuk dikembangkan, dengan tidak ingin mengetahui kondisi tanah dan kondisi biji tersebut. Besok kita berkata "a", besok lagi kita berkata "b", tanpa pendirian, tanpa tujuan dan pegangan hidup. Di saat hal ini datang, berlarilah dengan sedemikian rupa untuk meminta pertolongan dari Tuhan. Karena itu ialah masa kritis, kita sebagai seorang hamba. Raksasa besar dalam diri kita sudah membuat kita tidak lagi dapat membedakan siapa Tuhan dan siapa diri kita, siapa yang harus melayani dan siapa yang harus dilayani. Hidup abu-abu yang dapat hinggap kapan saja bagaikan rayap atau jamur tidak boleh membuat kita terbuai dan terlelap dalamnya.
Mengutip perkataan seorang pejuang iman yang sudah pernah tertatih-tatih menelusuri rona kehidupan dengan "terbentur, terbentur, terbentur dan terbentuk" mengatakan : "segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" -Filipi 4:13-, marilah kita melangkah ke depan! Siapa dia yang dengan berani dapat menulis perkataan semacam ini? Ya, namanya ialah Saulus yang kemudian dikenal dengan nama Paulus karena pertobatannya. Seorang pejuang iman dari kota Tarsus tanah Kilikia (sekarang di Turki), berkebudayaan Yunani (Helenis) dan warga negara Romawi. Ia dibesarkan di Yerusalem dan dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel, hidup dengan kebudayaan Yahudi yang sangat keras hingga akhirnya mengalami pencerahan karena perjumpaannya dengan Kebenaran itu sendiri. Ia memperkenalkan dirinya dengan kumpulan-kumpulan surat dalam Alkitab tepatnya Perjanjian Baru (rata-rata dari surat yang dituliskannya bersumber dari penjara, ia terpenjara karena kebenaran dan karena imannya). Ia memberikan suatu contoh perubahan hidup karena iman kepada kita yang tadinya bersembunyi dalam kenyamanan diri bimbang untuk memilih.
Marilah kita melangkah ke depan! Melihat persoalan sebagai batu loncatan kita untuk lebih setia dalam tugas dan tanggung jawab kita, memahami dan merasakan sikap hidup seorang hamba Kristus secara utuh.
#refleksi sebelum masuk Pos Pelkes part 1.
Komentar
Posting Komentar