Pentingnya Kebebasan : Belajar dari Mochtar Lubis dan Rousseau

Oleh : Vik.Hendry V. Sihasale

   Pasti sudah banyak yang mendengar pendapat Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia. Seniman yang satu ini memaparkan karakter manusia Indonesia yang sebagian besarnya bersifat negatif, diantaranya: munafik, berwatak lemah, enggan bertanggung jawab, dan feodal. Hanya satu dari karakter manusia Indonesia yang bersifat positif, yaitu artistik. Terlepas benar atau tidaknya pendapat dia, tapi kita dapat melihat konteks yang melatarbelakangi pendapatnya tersebut, yaitu konteks orde baru yang berada di bawah rezim militeristik Soeharto.

   Dalam bukunya, ditulis berulang-ulang bahwa karakter yang negatif itu muncul dari pengalaman manusia Indonesia yang hidup di bawah penindasan para penguasa selama ratusan bahkan ribuan tahun, baik itu di zaman kerajaan, kolonialis, hingga zaman Indonesia merdeka. Penindasan itu disadari atau tidak telah membentuk kultur masyarakat yang mempengaruhi karakter individu di dalamnya untuk tunduk kepada mereka yang berkuasa. Pernah ada suatu kesempatan dimana manusia Indonesia menunjukkan karakter yang berbeda, yaitu di masa revolusi kemerdekaan pasca Proklamasi Indonesia. Namun tidak berapa lama kemudian, manusia Indonesia kembali dipaksa tunduk oleh para penguasa, baik itu yang memegang jabatan maupun yang memegang senjata.

   Namun di sisi lain, karakter artistik manusia Indonesia membuat bangsa ini tidak miskin simbol, yang merupakan salah satu produk kesenian. Simbol-simbol itu adalah media yang menyimpan pesan, makna, dan harapan dari manusia Indonesia untuk kehidupannya seperti gemah ripah loh jenawi, ratu adil, si tou timou tou, mena muria, bhineka tunggal ika, Pancasila, revolusi, orde baru, dll. Simbol-simbol ini, meski oleh Mochtar Lubis dikatakan hanya slogan yang tidak terealisasi, merupakan suatu nilai positif bagi kehidupan bahkan suatu prasyarat bagi manusia dan masyarakat Indonesia untuk hidup lebih baik. Hanya saja untuk menjadikannya sebagai suatu karakter bagi masyarakat, maka dibutuhkan tanah yang "subur" alias kondisi yang kondusif baginya. Kondisi itu adalah kebebasan manusia dan masyarakat Indonesia, lepas dari penindasan dan perbudakan.

   Rousseau pada tahun 1762, berkata bahwa ada dua moralitas prinsip dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Pertama, menekankan kepentingan umum di atas kepentingan partikular, dan kedua, melakukan sesuatu tanpa pamrih. Mengenai prinsip yang kedua, reformator gereja, Luther, 200 tahun sebelumnya, sudah berkata bahwa nilai moral suatu karya manusia adalah ketika dilakukan tanpa pamrih. Hal-hal ini selaras dengan simbol tradisional masyarakat Indonesia yang berbentuk pepatah seperti : sepi ing pamrih, rame ing gawe, ayuning bawane dan mena muria. Dengan kata lain, Indonesia sebenarnya sudah memiliki warisan budaya yang mana bermanfaat bagi kehidupannya. Hanya saja, mengapa sampai warisan budaya itu tidak mewujud dalam karakternya? Jawabannya satu, karena masih eksisnya penindasan di masyarakat Indonesia, baik yang dilakukan oleh orang luar maupun orang Indonesia sendiri.

   Kembali kepada Rousseau, bahwa prinsip moral dapat tumbuh dalam diri manusia jika manusia itu hidup dalam kebebasan. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah, lepasnya manusia dari determinasi/paksaan pihak lain yang ada di luar dirinya. Dengan menjadi bebas, manusia dapat secara sukarela menginternalisasi prinsip-prinsip moral di dalam dirinya sehingga dia dapat berkarakterkan prinsip tersebut. Inilah maksud dari Soekarno yang tetap bertahan untuk merdeka dulu baru mencerdaskan bangsa, berlawanan dengan Mohammad Hatta yang memilih cerdaskan bangsa dulu baru merdeka.

   Kondisi kita saat ini adalah kebebasan itu sudah diraih. Sekarang tinggal bagaimana kita dapat mengupayakan diri dan masyarakat berkarakterkan nilai-nilai moral tersebut demi mencapai tujuan kita bersama. Memang ada sebagian yang berkata bahwa lebih enak di zaman dulu, ketika kita masih ditindas, dimana-mana terasa murah. Tapi itu semua adalah kamuflase atau rekayasa kekuasaan yang membuat kita terlena untuk tidak lagi berniat memperoleh kebebasan yang menjadi prasyarat demi mencapai tujuannya kita hidup bernegara. Untuk itu, tidak salahnya kalau saya membuat satu simbol lagi untuk melengkapi ribuan simbol yang sudah ada, dalam menjalani kehidupan berbangsa di masa kini dan masa akan datang :

   “Hujan emas di tanah penindasan masih jauh lebih buruk, ketimbang hujan batu di tanah kebebasan!”

  salam

  ~hvS~


Komentar