Oleh: Pdt.Hendry V. Sihasale
Terusiklah pasti kita membaca tulisan kawan kita, Pdt.Aurelius, yang memiliki keberanian mengungkapkan keresahannya terhadap apa yang terjadi di gereja tempat dia & kita sekalian mengabdikan diri. Meski menurut beberapa orang, bukan kapasitas kita berbicara tentang hal itu karena masih "hijau" dalam mengabdi serta bukan bagian dari struktur organisasi yang memiliki hak suara dalam lembaga GPIB, tetapi nurani tidak bisa dibendung untuk mengungkapkan pendapatnya. Bagaimanapun kita adalah manusia. Jika kekeliruan dalam kehidupan bergereja dapat ditolerir dengan ungkapan “namanya juga masih manusia”, apalagi bagi mereka yang mengkritisi atau mempertanyakan kekeliruan itu.
Sederet persoalan yang diungkap oleh kawan kita, mau tidak mau membuat kita bertanya pada diri kita tentang realitas kebersamaan dalam melayani di GPIB ini. Apakah terlalu muluk kalau kita berpikir yang namanya antar rekan sepelayanan itu prinsipnya adalah ringan sama dijinjing berat sama dipikul? Bukankah prinsip ini yang selalu dijejali pada kita semasa kita sekolah teologi, apalagi ketika kita berproses sebagai vikaris? Jujur saja bahwa dengan melihat persoalan GPIB ini, kita tidak sedang bermasalah di aturan organisasi, tetapi dengan moralitas persekutuan. Apa dasar hukumnya atau aturannya yang mengikat dari moralitas persekutuan? Tidak usah repot kita mencari itu. Dari setiap bagian Alkitab yang kita baca, tafsirkan, tulis, dan beritakan di mimbar, sudah menyediakan begitu banyak nilai yang mesti ada dalam suatu persekutuan. Jadikan semuanya itu sebagai acuan maka kita akan melihat bahwa gereja kita saat ini sedang diperhadapkan pada persoalan pengejawantahan nilai tersebut.
Pro-kontra terhadap suatu kebijakan dalam organisasi, memang dapat bersifat destruktif jika tidak disikapi dengan benar. Apalagi menjelang suksesi kekuasaan di organisasi tersebut. Pro-kontra yang sudah terjadi akan berkembang menjadi dua kubu yang saling menyerang satu sama lain dengan mengandalkan kekuatan yang dimilikinya. Upaya saling menyerang ini jika tidak dikendalikan akan merusak soliditas organisasi yang bukan tidak mungkin akan berujung pada perpecahan. Kalaupun tidak sampai pada perpecahan, maka nilai kebersamaan sebagai fundamen organisasi sudah dipastikan akan goyah bahkan hancur.
Kembali pada masalah GPIB. Mesti kita akui bahwa sulit bagi kita untuk membuktikan opini yang berkembang adalah fakta. Siapa yang berani mengkonfirmasi isu yang beredar ini kepada mereka yang menjadi pengambil kebijakan? Sulit sekali bukan? Yang selama ini kita pegang sebenarnya adalah tanggapan dari mereka yang merasa dirinya menjadi korban dari kebijakan dan dari mereka yang menjadi pengamat sekaligus kritikus. Namun tanpa menunggu apakah tanggapan itu memang sesuai fakta atau tidak, sudah dapat kita pastikan bahwa memang telah terjadi keresahan di dalam internal kita, khususnya di kalangan para pendeta GPIB. Keresahan ini sudah dipandang oleh beberapa orang sebagai reaksi atas kebijakan yang dirasa tidak adil, dan sebagian lagi memandangnya sebagai ketidak-pedulian dari para pendeta terhadap nasib rekannya. Keresahan ini sendiri sudah menunjukkan ada yang keliru dalam kita ber-GPIB. Kalau hal ini terus dibiarkan dan semakin meluas, maka hubungan ini menjadi preseden buruk untuk masa depan kolegialitas, karena rasa percaya dan kerjasama antar rekan sekerja menjadi terpuruk kepada persaingan yang tidak sehat yang mengedepankan rivalitas dengan saling menjatuhkan demi keuntungan pribadi.
Dengan kata lain, ini bukanlah situasi yang menyenangkan bagi siapapun yang melayani sebagai pendeta di GPIB. Situasi ini akan membuat kita menjadi sekumpulan orang yang hanya berani mengajak umat untuk tunduk kepada Firman, namun segan melakukan itu ketika berhadapan dengan koleganya, sesama pendeta. Kita telan mentah-mentah kepahitan karena sikap inkonsistensi ini, dan kita benarkan sikap diam kita dengan loyalitas serta kapabilitas kita melayani di jemaat. Situasi ini akan memaksa kita untuk bertumbuh secara prematur, meski kita lahir dalam kondisi normal. Untungnya kita “masih hijau”. Mumpung “masih hijau”, kita masih punya kesempatan untuk memilih mau jadi apa kita (aku & teman-teman) nantinya. Idealnya, kita menjadi tidak mengalami kesulitan dalam mengejawantahkan Firman Tuhan dalam keberadaan kita hingga purna tugas kita. Tapi, realitanya, kita akan berhadapan dengan dua pihak untuk bertahan pada “yang ideal itu”, yaitu situasi di luar kita dan diri kita sendiri. Entah seperti apa nanti hasilnya, kuat-kuatlah kita berdoa.
tentang penulis: Pdt.Hedry Victory Sihasale saat ini bertugas sebagai Pendeta Jemaat yang membimbing iman jemaat Tuhan yang berada di dua Pos Pelkes dalam wilayah pelayanan Jemaat Ebenhaezer-Ketapang, Kalimantan Barat.
Komentar
Posting Komentar