MEMPERTIMBANGKAN SIKAP POLITIK PRAKTIS PARA PEMUKA AGAMA

Oleh: Pdt.Hendry V. Sihasale
Langsung saja, fenomena yang saya soroti adalah publikasi para pemuka agama (khususnya para pendeta), secara pribadi, yang mengangkat dirinya sebagai pendukung aktif salah satu paslon yang berkontestasi dalam pilkada. Menjadi terang-terangan, karena hasrat menggelora untuk melihat negeri ini tidak lagi berjalan mundur, bisa menjadi alasan dari mereka sampai melakukan aksi dukung mendukung terhadap paslon pilihannya, bahkan ikut juga kecam mengecam terhadap paslon lawannya. Perilaku semacam ini sudah dapat dikategorikan sebagai politik praktis sebab telah menyentuh dimensi kekuasaan dalam politik. Secara moril, berpolitik praktis adalah hak konstitusional setiap warga negara. Bebas saja orang berpendapat, selama pendapatnya bisa dipertangungjawabkan dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Ini adalah wujud dari gaya hidup bangsa yang demokratis. Akan tetapi pada kenyataannya, para pemuka agama itu bisa saja memiliki umat yang berbeda pilihan dengan mereka. Kalau sudah bicara “nama”, maka pilihan yang didasari pada rasionalitas dan obyektifitas, dapat bias menjadi emosional dan subyektif.
Berhadapan dengan pemilu, orang cenderung bicara suka atau tidak suka terhadap para calon penguasa. Kalau sudah tidak suka, maka apa yang dilihat dari calon tersebut tetap saja dipandang salah meskipun yang dilakukannya benar. Sebaliknya, kalau sudah suka, maka apa yang dilihat tetap saja dianggap benar meskipun yang dilakukan calon itu jelas salah. Itulah sikap yang umumnya menghinggapi konstituen di negeri ini. Kalau mau kita ambil contoh, Ahok misalnya. Para pendeta sekarang ini begitu bersemangatnya mendukung beliau sebagai gubernur di periode kedua melalui publikasi yang gencar di sosial media, dengan alasan yang beragam, mulai dari rekam jejaknya sampai identitasnya. Namun, ada sebagian warga jemaat yang sampai sekarang masih belum menerima rumahnya digusur di masa kepemimpinan Ahok periode pertama, sehingga menurut mereka pilihan para pendeta kepada Ahok itu sama juga dengan mendukung penggusuran yang terjadi pada mereka.
Sadar pada situasi ini, semestinya para pemuka agama khususnya para pendeta mempertimbangkan lagi tindakan mereka yang mempublikasikan pilihan pribadinya di sosial media, karena dapat memicu resistensi (penolakan) dari sebagian umat yang memiliki pilihan berbeda atau pandangan berbeda terhadap calon pilihan para pendeta tersebut. Resistensi itu dapat menjadi batu sandungan bagi para pendeta untuk mencerdaskan umatnya dalam berpolitik. Dalam negara sekuler, agama dan politik memang terpisah tapi tidak tertutup kemungkinan dapat saling mempengaruhi. Tapi pada negara Pancasila, agama adalah salah satu fundamen kehidupan bangsa dan negara, dimana politik ada di dalamnya. Agama memberikan kontribusi nilai yang terintegrasi pada Pancasila, sehingga dalam bidang politik, agama berpolitik secara nilai atau moral bukan berpolitik praktis.
Politik nilai membuat peran agama sebagai pengayom bangsa dapat berjalan karena mengatasi semua kepentingan sesaat yang bermain dalam politik. Sementara itu jika agama memainkan politik praktis maka agama dapat berpotensi menjadi faktor disintegrasi ketimbang mempersatukan masyarakat yang terpecah karena beda pilihan. Oleh sebab itu, sebagai pemuka agama, ada baiknya sikap politik yang diambil mencerminkan eksistensi agama dalam hubungannya dengan negara. Karena mudah sekali sikap para pemuka agama itu dipandang sebagai sikap keagamaan oleh publik, dan ini jelas merugikan tidak hanya bagi agama itu sendiri, tapi bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Komentar